PERUBAHAN SOSIAL
1.
Definisi Perubahan Sosial
Setiap
manusia selama hidup pasti mengalami perubahan-perubahan. Perubahan dapat
berupa pengaruhnya terbatas maupun luas, perubahan yang lambat dan ada
perubahan yang berjalan dengan cepat. Perubahan dapat mengenai nilai dan norma
sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan,
lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan
sebagainya. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat merupakan gejala
yang normal. Pengaruhnya bisa menjalar dengan cepat ke bagian-bagian dunia lain
berkat adanya komunikasi modern. Perubahan dalam masyarakat telah ada sejak
zaman dahulu. Namun, sekarang perubahan-perubahan berjalan dengan sangat cepat
sehingga dapat membingungkan manusia yang menghadapinya.
Definisi perubahan
sosial menurut beberapa ahli sosiologi:
a. William F.Ogburn
mengemukakan bahwa “ruang lingkup perubahan-perubahan sosial meliputi
unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun yang immaterial, yang
ditekankan adalah pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap
unsur-unsur immaterial”.
b. Kingsley Davis
mengartikan “perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam
struktur dan fungsi masyarakat”.
c. MacIver
mengatakan “perubahan-perubahan sosial merupakan sebagai perubahan-perubahan
dalam hubungan sosial (social relationships) atau sebagai perubahan
terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial”.
d. JL.Gillin dan
JP.Gillin mengatakan “perubahan-perubahan sosial
sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena
perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk,
idiologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam
masyarakat”.
e. Samuel Koenig
mengatakan bahwa “perubahan sosial menunjukkan pada modifikasi-modifikasi yang
terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia”.
f.
Definisi lain adalah dari Selo
Soemardjan. Rumusannya adalah “segala perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi
sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di
antara kelompok-kelompok dalam masyarakat”.
Dari
definisi di atas dapat disimpulkan perubahan
sosial adalah perubahan yang terjadi dalam struktur masyarakat yang dapat
mempengaruhi sistem sosial.
2.
Karakteristik Perubahan Sosial
Perubahan
Sosial memiliki beberapa karakteristik yaitu:
a.
Pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial.
b.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.
c.
Perubahan-perubahan dalam hubungan sosial (social relationships) atau
sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial.
d.
Suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena
perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk,
idiologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam
masyarakat.
e.
Modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia
f.
Segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu
masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya
nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat.
3.
Bentuk-bentuk Perubahan
a.
Perubahan lambat dan perubahan cepat
Perubahan-perubahan
yang memerlukan waktu yang lama, rentetan rentetan perubahan kecil yang saling
mengikuti dengan lambat, dinamakan evolusi. Pada evolusi perubahan terjadi
dengan sendirinya tanpa rencana atau kehendak tertentu. Perubahan tersebut
terjadi karena usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan
keperluan-keperluan, keadaan-keadaan, dan kondisi-kondisi baru yang timbul
sejalan pertumbuhan masyarakat.
Macam-macam
teori evolusi:
1)
Unilenear theories of evolution.
Teori ini pada pokoknya berpendapat bahwa manusia dan masyarakat (termasuk
kebudayaannya) mengalami perkembangan sesuai dengan tahap-tahap tertentu,
bermula dari bentuk yang sederhana, kemudian bentuk yang kompleks sampai pada
tahap yang sempurna.
2)
Universal theory of evolution
menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidaklah perlu melalui tahap-tahap
tertentu yang tetap. Teori ini mengemukakan bahwa kebudayaan manusia telah
mengikuti suatu garis evolusi yang tertentu.
3)
Multilined theories of evolution.
Teori ini lebih menekankan pada penelitian-penelitian terhadap tahap-tahap
perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat.
Sementara
itu perubahan-perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat dan menyangkut
dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat.
Secara
sosiologis agar suatu revolusi dapat terjadi, maka harus dipenuhi syarat-syarat
tertentu antara lain:
1)
Harus ada keinginan umum untuk mengadakan suatu perubahan.
2)
Adanya seorang pemimpin atau sekelompok orang yang dianggap mampu memimpin
masyarakat tersebut.
3)
Pemimpin diharapkan dapat menampung keiginan-keinginan masyarakat untuk
kemudian merumuskan serta menegaskan rasa tidak puas tadi menjadi program dan
arah gerakan.
4)
Pemimpin tersebut harus dapat menunjukkan suatu tujuan pada masyarakat.
5)
Harus ada momentum yaitu saat di mana segala keadaan dan faktor sudah tepat dan
baik untuk memulai suatu gerakan.
b.
Perubahan kecil dan perubahan besar
Perubahan
kecil adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur unsur struktur sosial
yang tidak membawa pengaruh langsung atau yang berarti bagi masyarakat.
Perubahan mode pakaian, misalnya, tidak akan membawa pengaruh apa-apa bagi
masyarakat dalam keseluruhannya, karena tidak mengakibatkan perubahan-perubahan
pada lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sedangkan perubahan besar adalah
perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yaitu membawa
pengaruh besar pada masyarakat.
c.
Perubahan yang dikehendaki (intended-change) atau perubahan yang
direncanakan (planned-chage) dan perubahan yang tidak dikehendaki (unitended-change)
atau perubahan yang tidak direncanakan (unplanned-change). Perubahan
yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau
yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan
perubahan di dalam masyarakat. Pihak-pihak yang menghendaki perubahan dinamakan
agen of chage yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat
kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga
kemasyarakatan. Sedangkan perubahan sosial yang tidak dikehendaki atau yang
tidak direncanakan merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki
atau berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan
timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat.
d.
Perubahan Struktur dan Perubahan Proses
Perubahan
struktural yaitu perubahan yang sangat mendasar yang menyebabkan reorganisasi
dalam masyarakat. Misalnya penggunaan alat-alat yang canggih pada perkebunan.
Sedangkan perubahan proses adalah perubahan yang sifatnya tidak mendasar.
Perubahan tersebut merupakan penyempurnaan dari perubahan sebelumnya. Contohnya
revisi pasal-pasal Undang-undang Dasar. Sifatnya menyempurnakan
kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam pasal-pasal dalam undang-undang.
4.
Perspektif Teori Perubahan Sosial
Perspektif
Teori Perubahan Sosial dibagi menjadi 5 yaitu:
1) Teori Evolusioner
Teori
evolusioner memiliki paham bahwa perubahan sosial memiliki arah yang tetap yang
dilalui oleh semua masyarakat. Semua masyarakat melalui urutan pertahapan yang
sama dan bermula dari tahap perkembangan awal menuju tahap perkembangan akhir.
Di samping itu teori evolusioner mengatakan bahwa manakala tahap terakhir telah
dicapai, maka pada saat itu perubahan evolusioner pun berakhir.
Tokoh-tokoh
teori evolusioner:
a) Auguste Comte
Auguste
Comte membagi perubahan menjadi tiga tahap yaitu tahap teologis yang diarahkan
oleh nilai-nilai supernatural, tahap metafisik dimana nilai-nilai supernatural
digeser oleh prinsip-prinsip abstrak yang berperan sebagai dasar perkembangan
budaya, dan tahap terakhir yaitu tahap positif/ ilmiah yang mana masyarakat
diarahkan oleh kenyataan yang didukung oleh prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.
b) Darwin dan Herbert
Spenser
Teori
Darwin diikuti oleh Herbert Spenser yang mengatakan bahwa orang-orang cakap dan
bergairah (energetik) akan memenangkan perjuangan sedangkan orang-orang yang
malas dan lemah akan tersisih.
c) Lewis Henry Morgan
Lewis
mengatakan bahwa terdapat tujuh tahap teknologi yang dilalui masyarakat yaitu
dari tahap perbudakan hingga tahap peradapan.
d) Karl Mark
Karl
Mark menyatakan tahap masyarakat pemburu primitif ke masyarakat industrialis
modern.
2) Teori Siklus
Perubahan
sebagai suatu siklus karena sulit diketahui ujung pangkal penyebab awal
terjadinya perubahan sosial. Perubahan yang terjadi lebih merupakan peristiwa
prosesual dengan memandang sejarah sebagai serentetan lingkaran tidak berujung.
Ibn Khaldun, salah satu teoritisi sosiohistoris mengemukakan bahwa perubahan
sebagai suatu siklus, yang analisisnya memfokuskan pada bentuk dan tingkat
pengorganisasian kelompok dengan latar belakang sosial budaya yang berbeda.
Para penganut teori siklus juga melihat adanya sejumlah tahap yang harus
dilalui oleh masyarakat, tetapi mereka berpandangan bahwa proses peralihan
masyarakat bukannya berakhir. Pada tahap terakhir yang sempurna melainkan
berputar kembali ke tahap awal untuk peralihan selanjutnya.
Tokoh-tokoh
teori siklus
a) Oswald Spengler
Ia
berpendapat bahwa setiap peradapan besar mengalami proses pentahapan kelahiran,
pertumbuhan dan keruntuhan, kemudian berputar lagi yang memakan waktu sekitar
1000 tahun.
b) Pitirim Sorokin
Pitirim
Sorokin menyatakan terdapat tiga siklus sistem kebudayaan yang berputar tanpa
akhir, yaitu kebudayaan ideasional yang didasari oleh nilai-nilai dan
kepercayaan terhadap unsur supernatural, kebudayaan idealistis dimana
kepercayaan terhadap unsur supernatural dan rasionalitas yang berdasarkan fakta
bergabung dalam menciptakan masyarakat ideal dan terakhir kebudayaan sensasi
yang merupakan tolak ukur dari kenyataan dan tujuan hidup.
c) Arnold Toynbee
Ia
berpendapat bahwa peradaban besar berada dalam siklus kelahiran, pertumbuhan,
keruntuhan dan kematian.
3) Teori perkembangan (linear)
Perubahan
sebagai perkembangan (linear) adalah bahwa pada dasarnya setiap
masyarakat walau secara lambat namun pasti akan selalu bergerak, berkembang,
dan akhirnya berubah dari struktur sosial yang sederhana menuju ke yang lebih
kompleks maju dan modern.
4) Teori Fungsional
(Talcott Parsons)
Penganutnya
menerima perubahan sebagai sesuatu yang konstan dan tidak memerlukan
penjelasan.
5) Teori konflik (Karl
Mark)
Para
penganutnya berpendapat bahwa hal yang konstan adalah konflik sosial bukannya
perubahan. Perubahan hanyalah merupakan akibat dari adanya konflik tersebut.
5. Proses
Perubahan Sosial
a. Penemuan baru (discovery) yaitu penemuan
merupakan persepsi manusia yang dianut secara bersama, mengenai suatu aspek
kenyataan yang semula sudah ada.
b. Invensi (Invention) yaitu suatu
kombinasi baru/ cara penggunaan baru dari pengetahuan yang sudah ada.
c. Difusi (difution) yaitu penyebaran
unsur-unsur budaya dari suatu kelompok ke kelompok lainnya.
6. Faktor
Penyebab Perubahan Sosial
Pada dasarnya, perubahan-perubahan sosial terjadi
oleh karena anggota masyarakat pada waktu tertentu merasa tidak puas lagi
terhadap keadaan kehidupannya yang lama. Norma-norma dan lembaga-lembaga
sosial atau sarana penghidupan yang lama dianggap tidak memadai lagi untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang baru. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi
mengatakan bahwa secara umum penyebab dari perubahan sosial budaya dibedakan
atas dua golongan besar, yaitu:
a. Perubahan yang berasal dari masyarakat itu
sendiri.
b. Perubahan yang berasal dari luar masyarakat.
Secara jelas akan dipaparkan di bawah ini:
a. Perubahan yang berasal dari masyarakat.
1) Bertambah atau berkurangnya penduduk.
Perubahan jumlah penduduk merupakan penyebab
terjadinya perubahan sosial, seperti pertambahan atau berkurangnya penduduk
pada suatu daerah tertentu. Bertambahnya penduduk pada suatu daerah dapat
mengakibatkan perubahan pada struktur masyarakat, terutama mengenai
lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sementara pada daerah lain terjadi kekosongan
sebagai akibat perpindahan penduduk tadi.
2) Penemuan-penemuan baru
Penemuan-penemuan baru akibat perkembangan ilmu
pengetahuan baik berupa teknologi maupun berupa gagasan-gagasan menyebar
kemasyarakat, dikenal, diakui, dan selanjutnya diterima serta menimbulkan
perubahan sosial. Menurut
Koentjaraningrat faktor-faktor yang mendorong
individu untuk mencari penemuan baru adalah sebagai berikut :
1. Kesadaran dari orang perorangan karena
kekurangan dalam kebudayaannya.
2. Kualitas dari ahli-ahli dalam suatu kebudayaan.
3. Perangsang bagi aktivitas-aktivitas penciptaan
dalam masyarakat.
3) Pertentangan (konflik) dalam masyakat
Pertentangan dalam nilai dan norma-norma, politik,
etnis, dan agama dapat menimbulkan perubahan sosial budaya secara luas.
Pertentangan individu terhadap nilai-nilai dan norma-norma serta adat
istiadat yang telah berjalan lama akan menimbulkan perubahan bila individu-individu
tersebut beralih dari nilai, norma dan adat istiadat yang telah diikutinya
selama ini.
4) Terjadinya pemberontakan atau revolusi
Pemberontakan atau revolusi dapat merombak seluruh
aspek kehidupan sampai pada hal-hal yang mendasar seperti yang terjadi pada
masyarakat Inggris, Prancis dan Rusia.
b. Perubahan yang berasar dari luar masyarakat.
1) Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam
fisik yang ada disekitar manusia.
Menurut Soerjono Soekanto sebab yang bersumber
pada lingkungan alam fisik yang kadang-kadang disebabkan oleh tindakan para
warga masyarakat itu sendiri. Misalnya, penebangan hutan secara liar oleh
segolongan anggota masyarakat memungkinkan untuk terjadinya tanah longsor,
banjir dan lain sebagainya.
2) Peperangan
Peperangan yang terjadi dalam satu masyarakat
dengan masyarakat lain menimbulkan berbagai dampak negatif yang sangat
dahsyat karena peralatan perang sangat canggih.
3) Pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Adanya interaksi langsung antara satu masyarakat
dengan masyarakat lainnya akan menyebabkan saling pengaruh. Selain itu
pengaruh dapat berlangsung melalui komunikasi satu arah yakni komunikasi
masyarakat dengan media-media massa. Ada empat tipe respon psikologis
individu terhadap cross-cultural contact :
Pertama, tipe passing yaitu individu
menolak kebudayaan yang asli dan mengadopsi kebudayaan yang baru. Kedua, tipe
chauvinist yaitu individu menolak sama sekali pengaruh-pengaruh asing.
Ketiga, tipe marginal yaitu respon yang terombang ambing di antara
kebudayaan asli dengan kebudayaan asing. Keempat, mediating yaitu
individu dapat menyatukan bermacam-macam identitas budaya.
7. Faktor yang Mempengaruhi
Jalannya Proses Perubahan
a. Faktor Pendorong Jalannya
Proses Perubahan
1) Kontak dengan kebudayaan lain
Salah satu proses yang menyangkut hal ini adalah diffusion.
Difusi adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu
kepada individu lain dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Dengan proses
tersebut manusia mampu untuk menghimpun penemuan-penemuan baru yang telah
dihasilkan.
Ada dua tipe difusi yaitu difusi intra-masyarakat (intra-society
diffusion) dan tipe difusi antar masyarakat (inter-society diffusion).
Difusi intra-masyarakat terpengaruh oleh beberapa faktor, misalnya:
a) Suatu pengakuan bahwa unsur yang baru tersebut
mempunyai kegunaan.
b) Ada tidaknya unsur-unsur kebudayaan yang
dipengaruhi diterimanya atau tidak diterimanya unsur-unsur yang baru.
c) Unsur baru yang berlawanan dengan fungsi unsur
lama kemungkinan besar tidak akan diterima.
d) Kedudukan dan peran sosial dari individu yang
menemukan sesuatu yang baru tadi akan mempengaruhi apakah hasil penemuannya
itu dengan mudah diterima atau tidak.
e) Pemerintah dapat membatasi proses difusi
tersebut.
Sedangkan difusi antar masyarakat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu antara lain:
a) Adanya kontak antara masyarakat-masyarakat
tersebut.
b) Kemampuan untuk mendemontrasikan kemanfaatan
penemuan baru tersebut.
c) Pengakuan akan kegunaan penemuan baru tersebut.
d) Ada tidaknya unsur-unsur kebudayan yang
menyaingi unsur-unsur penemuan baru tersebut.
e) Peranan masyarakat yang menyebarkan penemuan
baru di dunia ini.
f) Paksaan dapat juga dipergunakan untuk menerima
suatu penemuan baru.
2) Sistem pendidikan formal yang maju
Pendidikan mengajarkan kepada individu aneka macam
kemampuan. Pendidikan memberi nilai-nilai tertentu bagi manusia terutama
dalam membuka pikiran serta menerima hal-hal baru dan juga bagaimana cara
berpikir secara ilmiah. Pendidikan mengajarkan manusia untuk dapat berpikir
secara objektif bagaimana akan memberikan kemampuan untuk menilai apakah
kebudayaan masyarakatnya akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan zaman atau
tidak.
3) Sikap menghargai hasil karya seseorang dan
keinginan-keinginan untuk maju.
Apabila sikap tersebut melembaga dalam masyarakat
maka masyarakat akan merupakan pendorong bagi usaha-usaha penemuan baru. Di
Indonesia penghargaan terhadap karya orang lain masih belum tampak terbukti
masih banyaknya penjiblakan karya demi memperoleh keuntungan pribadi atau
kelompok dengan mengorbankan orang lain. Penghargaan dapat mendorong
seseorang untuk menciptakan karya-karya inovatif sehingga dapat medorong
kemajuan disegala bidang kehidupan.
4) Toleransi
Toleransi merupakan sikap menghormati dan
menghargai orang lain serta tidak memaksakan apa yang dianggap dirinya benar.
Toleransi terhadap perbuatan yang menyimpang (deviation), dan bukan merupakan
delik.
5) Sistem terbuka lapisan masyarakat.
Sistem terbuka memungkinkan adanya gerak sosial
vertikal yang luas atau berarti memberi kesempatan kepada para individu untuk
maju atas dasar kemampuan sendiri. Dalam keadaan demikian seseorang mungkin
akan mengadakan identifikasi dengan warga-warga yang mempunyai status lebih
tinggi. Identifikasi merupakan tingkah laku yang sedemikian rupa sehingga
seseorang merasa kedudukan sama
dengan orang atau golongan lain yang dianggap
lebih tinggi dengan harapan agar diperlakukan sama dengan golongan tersebut.
Identifikasi terjadi di dalam hubungan superordinasi-subordinasi. Pada
golongan yang berkedudukan lebih rendah acapkali terdapat perasaan tidak puas
terhadap kedudukan sosial sendiri. Keadaan tersebut dalam sosiologi disebut
status-anxiety yang dapat menyebabkan seseorang dapat berusaha untuk
menaikkan kedudukan sosialnya.
6) Penduduk yang heterogen
Masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok
sosial yang mempunyai latar belakang kebudayaan, ras, ideologi yang berbeda
mempermudah terjadinya pertentangan-pertentangan yang mengundang
kegoncangan-kegoncangan. Keadaan yang demikian menjadi pendorong bagi
terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat.
7) Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang
kehidupan tertentu.
Ketidakpuasan yang berlangsung lama dalam
masyarakat kemungkinan besar akan mendatangkan revolusi.
8) Orientasi kemasa depan.
Setiap orang yang memiliki orientasi pemikiran
kemasa depan pasti akan memiliki tekad untuk terus berusaha agar bisa hidup
lebih baik. Berbagai usaha dilakukan agar bisa mencapai cita-cita yang
diimpikan.
9) Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar
untuk memperbaiki hidupnya.
Di dunia ini tidak ada yang diperoleh dengan
gratis. Semuanya butuh perjuangan dan pengorbanan untuk dapat mencapai hidup
yang baik.
b. Faktor Penghambat
1) Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain.
Kehidupan terasing menyebabkan sebuah masyarakat
tidak mengetahui perkembangan-perkembangan apa yang terjadi pada masyarakat
lain yang mungkin akan dapat memperkaya kebudayaannya sendiri. Hal itu juga
menyebabkan bahwa masyarakat terkungkung pola-pola pemikirannya oleh tradisi.
2) Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat.
Hal ini mungkin disebabkan hidup masyarakat
tersebut terasing dan tertutup atau mungkin karena lama dijajah oleh
masyarakat lain.
3) Sikap masyarakat yang sangat tradisional.
Suatu sikap yang mengagung-agungkan tradisi dan
masa lampau serta anggapan bahwa tradisi secara mutlak tak adapat diubah,
menghambat jalannya proses perubahan. Keadaan tersebut akan menjadi lebih
parah apabila masyarakat yang bersangkutan dikuasai oleh golongan
konservatif.
4) Adanya kepentingan-kepentingan yang telah
tertanam dengan kuat atau vested interests.
Dalam setiap organisasi sosial yang mengenal
sistem lapisan pasti akan ada kelompok orang yang menikmati kedudukan
perubahan-perubahan. Misalnya dalam masyarakat feodal dan pada masyarakat
yang sedang mengalami tradisi. Dalam hal yang terakhir ada golongan-golongan
dalam masyarakat yang dianggap sebagai pelopor proses transisi karena selalu
mengidentifikasikan diri dengan usaha-usaha dan jasa-jasanya, sukar sekali
bagi mereka untuk melepaskan kedudukannya di dalam suatu proses perubahan.
5) Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada
integrasi kebudayaan.
Memang harus diakui kalau tidak mungkin integrasi
semua unsur suatu kebudayaan bersifat sempurna. Beberapa pengelompokan
unsur-unsur tertentu mempunyai derajat integrasi tinggi. Maksudnya
unsur-unsur luar dihawatirkan akan menggoyahkan integrasi dan menyebabkan
perubahan-perubahan pada aspek-aspek tertentu masyarakat.
6) Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau
sikap yang tertutup.
Sikap yang demikian banyak dijumpai pada
masyarakat-masyarakat yang pernah dijajah bangsa-bagsa barat. Mereka sangat
mencurigai sesuatu yang berasal dari barat, karena tidak pernah bisa
melupakan pengalaman-pengalaman pahit selama penjajahan. Kebetulan
unsur-unsur baru kebanyakan berasal dari barat maka prasangka kian besar
lantaran hawatir bahwa melalui unsur-unsur tersebut penjajah bisa masuk lagi.
7) Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis.
Setiap usaha perubahan pada unsur-unsur kebudayaan
rohaniah. Biasanya diartikan sebagai usaha berlawanan dengan ideologi masyarakat
yang sudah menjadi dasar integrasi masyarakat tersebut.
8) Adat atau kebiasaan.
Adat atau kebiasaan merupakan pola-pola perilaku
bagi anggota masyarakat di dalam memenuhi segala kebutuhan pokoknya. Apabila
kemudian ternyata pola-pola perilaku tersebut efektif lagi di dalam memenuhi
kebutuhan pokok, krisis akan muncul. Mungkin adat atau kebiasaan yang
mencakup bidang kepercayaan, sistem mata pencaharian,pembuatan rumah, cara
berpakaian tertentu, begitu kokoh sehingga sukar untuk diubah. Misalnya, memotong
padi dengan menggunakan mesin akan terasa akibatnya bagi tenaga kerja
(terutama wanita) yang mata pencaharian tambahannya adalah memotong padi
dengan cara lama. Hal ini merupakan suatu halangan terhadap introduksi alat
pemotong baru yang sebenarnya lebih efektif dan efisien.
9) Nilai bahwa hidup ini pada hakikatnya buruk dan
tidak mungkin diperbaiki.
Konsep kepercayaan bahwa hal-hal buruk yang
terjadi merupakan takdir dari yang kuasa dan sulit untuk dirubah. Sehingga
menerimanya begitu saja tanpa usaha yang konkrit untuk keluar dari
permasalahan yang dihadapi.
8. Tantangan Globalisasi
Terhadap Eksistensi Jati Diri Bangsa
Dalam era reformasi ditandai oleh perubahan besar
dalam tata kehidupan, baik ditinjau dari aspek sosial, politik, ekonomi,
budaya, termasuk perubahan dalam dunia pendidikan. Di Indonesia, perubahan
besar dipengaruhi oleh dua hal, yaitu globalisasi dalam relasi internasional
dan otonomi daerah yang telah diterapkan Indonesia dalam era reformasi
sekarang ini. Globalisasi telah mendorong masyarakat menjadi semakin terbuka
terhadap pengaruh dari luar wilayah suatu negara, sehingga daya saing antara
satu negara terhadap negara lain menjadi hal yang begitu penting dalam
hubungan ekonomi antar bangsa. Di tingkat nasional, tuntutan terhadap otonomi,
mengemuka
sejalan dengan meningkatnya wacana demokratisasi
dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Keberhasilan otonomi
daerah ini pada akhirnya sangat tergantung pada kemampuan SDM dalam mengelola
potensi alam dan manusia yang dimiliki oleh masyarakat di daerah untuk
sebesar-besarnya kepentingan masyarakat daerah itu. Pendidikan dapat
mengambil peran yang besar dalam transformasi besar tersebut dengan
merumuskan kembali visi, misi dan orientasi pendidikannya. Azyumardi Azra
(2002: 224) mendefinisikan globalisasi sebagai arus orang-orang,
barang-barang dan jasa, informasi dan gagasan melewati batas-batas
negara-bangsa dan kebudayaan lokal, nasional dan regional.
Menurut Giddens (2001) globalisasi merupakan
fenomena yang hampir tidak bisa dihindari oleh suatu masyarakat modern
sekarang, sekalipun tidak semua konsekuensinya menguntungkan dan baik. Bagi
negara yang sedang berkembang yang kualitas SDM rendah sehingga
produktivitasnya dan daya saing rendah, globalisasi dapat menimbulkan konsekuensi
yang kurang menguntungkan bagi perekonomiannya. Oleh karena itu Mansour Fakih
(2003) melihat globalisasi sebagai mitos yang diciptakan oleh negara-negara
maju untuk memperluas pasarnya di negara berkembang. Dalam perspektif ini,
globalisasi perlu diwaspadai sebagai bentuk baru imperialisme (Bello, 2004:
6). Pada awalnya, pengaruh globalisasi sangat terasa pada bidang ekonomi dan
telah melahirkan tata ekonomi baru (new economy). Perkembangan new
economy menuntut perubahan-perubahan baik di dalam organisasi maupun
dalam tingkah laku para pelaku ekonomi. Dengan kata lain, era globalisasi
disamping sangat dipengaruhi oleh penguasaan atas teknologi informasi dan
komunikasi juga perlu didukung pemahaman terhadap berbagai latar budaya
masyarakat antar bangsa (Nugroho dan Cahayani, 2003: 2). Oleh karena itu,
wacana besar setelah wacana globalisasi adalah wacana demoratisasi,
pluralisme dan multikulturalisme (Sirry, 2003). Pengaruh wacana globalisasi,
demokratisasi, pluralisme dan multikulturalisme terhadap pendidikan antara
lain adalah perlunya diselenggarakan pendidikan yang lebih demokratis dan
tidak diskriminatif. Pendidikan nilai dan watak (afeksi) tetap memiliki
relevansi dalam sistem pendidikan nasional, terutama dalam rangka
mengembangkan sikap toleran dan semakin meningkatnya pemahaman terhadap
kehidupan budaya bangsa sendiri serta menggalang saling pengertian antar
budaya dan antar bangsa dalam pergaulan internasional.
Pengaruh globalisasi terhadap pendidikan dapat
dipahami dengan melihat bagaimana kehidupan antar bangsa terjalin dan semakin
terhubung (interconnected) satu sama lainnya. Bentuk nyata semakin
terhubungnya satu bangsa dengan bangsa lain dapat dilihat dari semakin
banyaknya tenaga kerja asing dan perusahaan-perusahaan atau koorporasi
multinasional dari negara-negara maju melebarkan sayap di berbagai belahan
dunia yang lain. Restoran makanan siap saji dan produk minuman bermerek
internasional misalnya, sekarang dapat ditemui di berbagai kota-kota di
Indonesia. Restoran dan produk minuman ini tidak hanya dimaksudkan untuk
melayani tenaga kerja ekspatriat di Indonesia yang jumlahnya tidak terlalu
besar, tetapi untuk melayani para pelanggan lokal yang semakin akrab dengan
selera produk global ini. Fenomena yang lain, dalam globalisasi juga ditandai
dengan ekspansi perusahaan atau koorporasi multinasional dengan
menginvestasikan modalnya di negara berkembang, dengan alasan untuk efisiensi
dan mendekati pasar. Efisiensi ekonomis dapat dicapai karena di negara
berkembang umumnya, tenaga kerja dan beberapa faktor produksi lainnya relatif
cukup murah, sedangkan dari sisi pemasaran produk dapat dihemat beberapa
biaya, seperti biaya transportasi, karena produk dibuat semakin dekat dengan
pasar atau konsumennya. Dengan demikian dapat dipahami mengapa globalisasi
dipandang sebagai bentuk imperialisme baru dan menempatkan negara berkembang
umumnya sebagai potensi pasar yang terbuka luas. Kemudian permasalahan yang
muncul sebagai akibat dari semakin banyaknya perusahaan asing di negara
berkembang yang melibatkan tenaga kerja lokal adalah adanya kendala bahasa
atau komunikasi dan kesenjangan budaya. Kendala bahasa dapat di atasi dengan
waktu yang relatif cepat dengan memberikan kursus atau pendidikan
keterampilan berbahasa kepada para staf dan karyawan lokal di suatu
perusahaan multinasional, apalagi sekarang banyak lembaga pendidikan yang
mengharuskan peserta didik untuk menguasai bahasa, terutama bahasa Inggris
dengan standar tertentu sebagai syarat kelulusan. Sementara itu kesenjangan
budaya tidak bisa diselesaikan secara cepat dan relatif mudah sebagaimana
mengatasi kendala bahasa. Permasalahan lain yang muncul kemudian adalah
bagaimana pendidikan tidak hanya memberikan pengetahuan dan ketrampilan
bekerja namun juga mampu mengatasi dan mengantisipasi kesenjangan budaya
dalam rangka menyiapkan peserta didik agar memiliki kemampuan beradaptasi
dengan berbagai kultur yang terdapat dalam dunia
kerja. Toleransi dan pemahaman terhadap kultur
berbagai bangsa akan berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam
meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam bekerja bersama dengan
orang-orang dengan berbagai ragam latar kultural yang berbeda-beda. Kehidupan
multikultural semacam ini sekarang dengan mudah di temui di berbagai kota
besar di Indonesia, misalnya perusahaan milik Hongkong dan Amerika yang di
Indonesia didalamnya bekerja orang India, Singapura dan Indonesia dalam satu
kantor. Sebagai ilustrasi Nugroho dan Cahayani (2003: 97) memberikan contoh
budaya komunikasi yang muncul antara orang Jepang sebagai pendatang dengan
orang Philipina yang bekerja di perusahaan Jepang di Philipina. Orang
Philipina menganggap bahwa cara berkomunikasi di perusahaan tersebut sangat
dipengaruhi oleh budaya Jepang. Orang-orang Jepang memiliki kebudayaan untuk
membedakan cara berbicara dan kata-kata berdasarkan tingkatan lawan
bicaranya. Yang dimaksud cara berbicara ini termasuk sikap tubuh yang memberi
hormat dengan menunduk 90 derajat berulang-ulang. Cara dan sikap itu tidak
terdapat dalam masyarakat Philipina. Cara berkomunikasi seperti itu dianggap
oleh orang Philipina sebagai terlalu formal, eksklusif dan tidak membaur
dengan kebudayaan lokal yang relatif lebih praktis. Sebaliknya cara berbicara
orang Philipina dianggap tidak sopan bagi orang Jepang. Sebagaimana
dikemukakan dalam pendahuluan bahwa globalisasi merupakan fenomena yang
sangat terasa terutama dalam bidang ekonomi yang salah satu aspek pentingnya
adalah masalah SDM, menurut Kusumohamidjojo (2000: 142) globalisasi telah
mendekatkan manusia dengan manusia, masyarakat dengan masyarakat, kebudayaan
dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Di sisi yang lain globalisasi juga bisa
mempertinggi tingkat pertentangan antar manusia, antar masyarakat, dan antar
kebudayaan. Dengan demikian pendekatan budaya dalam pendidikan diharapkan
dapat meningkatkan pengertian dan pemahaman berbagai latar budaya yang
beraneka ragam, disamping tentunya berusaha meningkatkan mutu SDM dan daya
saingnya. Dalam kaitannya dengan keberagaman kebudayaan, organisasi multikultural
umumnya akan mengadakan pelatihan penanganan keanekaragaman budaya tersebut
dengan dua program, yaitu (Nugroho dan Cahayani, 2003: 104): 1. Program untuk
meningkatkan kesadaran dan pemahaman mengenai perbedaan nilai, sikap, pola
perilaku serta cara berkomunikasi. 2. Program untuk mengembangkan
keterampilan baru dan kompetensi anggota organisasi, termasuk kemampuan
berkomunikasi, keterampilan
berbahasa asing dan ketrampilan bernegosiasi.
Sedangkan pengaruh globalisasi terhadap eksistensi negara-bangsa dikemukakan
oleh Kenichi Ohmae (2002) bahwa ada kecenderungan munculnya negara kawasan
(regionalisasi). Munculnya negara kawasan ini sangat kelihatan terutama dalam
bidang kerjasama ekonomi, seperti munculnya Uni Eropa dengan mata uang
bersama Euro, kerjasama ekonomi APEC, AFTA, dsb. Hal senada dikemukakan
Daniel Bell dalam Buchori (2001: 27) yang mengemukakan bahwa ada dua
kecenderungan yang bertolak belakang di masa depan, yaitu kecenderungan untuk
beritegrasi dalam bidang ekonomi, dan kecenderungan untuk berpecah belah
(fragmentasi) dalam kehidupan politik. Dalam beberapa hal, predikasi
fragmentasi kehidupan politik ini telah terjadi di negara-negara Eropa Timur
dan semenanjung Balkan. Gejala globalisasi sudah lama dirasakan oleh
negara-negara berkembang dalam bentuk simbol-simbol modernisasi sebagaimana
disebut oleh Alvin Toffler (1992) sebagai 3 F, yaitu Food, Fun dan Fashion.
Food maksudnya makanan sebagaimana meluasnya berbagai produk makanan fast
foods dan junk foods seperti Kentucky Fried Chicken (KFC), Mc
Donald, Pizza, dsb. Disamping produk makanan, masyarakat negara
berkembang juga semakin akrab dengan minuman Coca Cola, Pepsi, Sprite, dan
produk-produk lainnya. Pengaruh dunia fun bisa dilihat dari begitu
besarnya pengaruh hiburan baik berupa film layar lebar maupun televisi, musik
dan dunia gemerlap lainnya. Dunia hiburan ini erat hubungannya dengan fashion,
karena melalui dunia hiburan diperkenalkan model baju, asesori, rambut
dan dandanan lainnya. Pengaruh ini ternyata tidak hanya terjadi pada kaum
remaja saja. Tentu masih ingat diwaktu yang lalu ketika muncul “demam”
potongan rambut Demi Moore setelah sukses sang bintang dalam film Ghost,
sehingga dari ibu-ibu rumah tangga sampai dengan pembantu rumah tangga
berpotongan rambut “ala Polwan” ini. Sedangkan Kenichi Ohmae (2002)
menyebutkan besarnya pengaruh “4I” yang dalam era global. Empat I tersebut
meliputi: Pertama, Investasi. Pasar modal dunia telah kelebihan investasi
untuk memenuhi keperluan negara-negara maju, dan masalahnya kesempatan
investasi yang menjanjikan keuntungan besar tidak selalu sama dengan negara
dari mana dana itu berasal. Investasi tidak lagi dibatasi oleh batas
geografis ataupun bangsa, bahkan sekarang kehadirannya dinantikan di berbagai
negara berkembang di Asia pada umumnya dan sebagaimana investasi asing pada
umumnya, investasi asing ini bisa pergi manakala iklim investasi di negara
berkembang tersebut dianggap tidak lagi
menguntungkan. Kasus penutupan pabrik elektronik Sony dan Sepatu Nike di
Indonesia dapat menjelaskan fenomena ini. Dengan demikian posisi negara
berkembang dalam investasi juga cukup lemah. Kedua, Industri. Industri tidak
lagi harus melakukan negoisasi dengan kepentingan pemerintah. Di masa lalu
pemerintah sebagai representasi negara dapat melakukan regulasi pajak, bea
masuk atau subtitusi ekspor sebagai strategi melindungi (proteksi) industri
dalam negeri. Di masa sekarang bentuk proteksi dan berbagai bentuk entry
barier dilarang dan negara yang merasa dirugikan oleh perdagangan yang
tidak adil dapat mengajukannya ke sidang GATT atau WTO. Dunia industri asing
yang berada pada suatu negara pada umumnya bertujuan untuk mendekati pasar
potensial sekaligus mengurangi ongkos produksi seperti misalnya murahnya
tenaga kerja, tersedianya sumber daya alam dan untuk mengurangi ongkos
transportasi. Ketiga, teknologi informasi (IT- Information Tecnology).
Dengan kemajuan perkembangan teknologi seperti internet misalnya, maka dapat
dipahami bagaimana jaringan perusahaan multinasional mengembangkan jaringan
teknologi informasi yang memungkinkan perusahaan pusat untuk mengendalikan
berbagai anak perusahaannya yang tersebar di berbagai belahan dunia yang
lain. Internet dan chating adalah salah satu contoh yang mudah tentang
bagaimana antar orang dapat berkomunikasi tanpa kendala tempat, ruang dan
waktu. Hal ini tentu semakin mengukuhkan bagaimana new economy dunia
di masa depan nanti terbentuk. Keempat, konsumen individual (Individual
Costumer). Para konsumen tidak lagi dikondisikan oleh larangan-larangan
oleh pemerintah. Atau dengan kata lain, pemerintah tidak dapat melarang
konsumsi warganya. Para konsumen dapat melakukan pemilihan terhadap produk
yang akan mereka konsumsi, misalnya karena harganya lebih murah, sesuai
selera dan kualitas lebih baik tanpa memperdulikan dari negara mana barang
itu berasal. Kompetisi antar bangsa dalam produk barang dan jasa menjadi
semakin ketat. Kompetisi itu bisa berupa harga, mutu maupun jumlah tanpa
memperhatikan dari mana barang itu berasal. Dengan demikian batas-batas
negara dan bangsa semakin kabur. Karena dulu kedaulatan negara selalu identik
dengan kedaulatan wilayah, ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Namun dengan
globalisasi kedaulatan ekonomi, sosial, budaya dan bahkan politik menjadi
surut berkurang karena bergitu besarnya pengaruh internasional. Dalam
kaitannya dengan aspek internasionalisasi dalam aspek ekonomi dalam era
global ini Jeff
S. Luke (1999: 16) menyatakan dua hal. Pertama,
integrasi global dari pasar modal sebagai salah satu bentuk dari produk
revolusi komunikasi sehingga memudahkan kapital berpindah dari negara-negara
maju, dengan cepat berpindah ke ekonomi dunia. Kedua, pembangunan industri
yang mendunia telah diperkuat dengan persebaran pertumbuhan cepat sebagai
akibat kemajuan teknologi. Baik penjelasan Ohmae dan Luke sama-sama
menjelaskan bahwa globalisasi adalah keniscayaan.
Multikulturalisme di era global, globalisasi di
mana masyarakat saling terhubung dan batas-batas kultural antar bangsa
semakin terbuka, maka keunggulan dan daya saing suatu bangsa atas bangsa lain
menjadi faktor yang penting. Di sisi lain, perlu dikembangkan pemahaman baru
dan mendukung terciptanya kultur yang semakin toleran terhadap keragaman
kebudayaan bangsa-bangsa yang lain sehingga dapat terjalin kerja sama yang
adil dalam hubungan antar masyarakat dan bangsa. Keunggulan suatu masyarakat
atau bangsa terhadap masyarakat atau bangsa yang lain tidak seharusnya
menimbulkan diskriminasi, eksploitasi dan ketergantungan negara maju atas
negara berkembang. Dengan kata lain, perlu diciptakan sistem global yang
lebih adil sehingga setiap negara berkembang dapat menikmati kemakmuran
bersama-sama dengan negara maju. Sementara itu negara berkembang dapat
menumbuhkan sikap toleran yang didasarkan nilai-nilai persamaan (equality)
dan keadilan (equity). Dalam rangka pengembangan SDM yang sadar
globalisasi, maka dunia pendidikan dapat mengembangkan nilai-nilai
multikulturalisme dalam rangka mempersiapkan peserta didik menghadapi
globalisasi. Pendidikan dapat mempersiapkan jenis-jenis ilmu pengetahuan dan
keterampilan tertentu yang diperkirakan semakin dibutuhkan di masa depan
sekaligus dapat menciptakan kondisi kultural yang semakin kondusif terhadap
keragaman, baik keragaman di tingkat lokal, nasional dan internasional.
Dengan demikian persiapan SDM melalui pendidikan seharusnya dapat menjawab
tantangan lokal, nasional dan global. Dewasa ini multikulturalisme ini
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembahasan tentang globalisasi.
Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara
sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender,
bahasa, ataupun agama (Sirry, 2003). Multikulturalisme dalam pendidikan dapat
diintegrasikan dalam pendidikan nilai dan watak (karakter) dan pada umumnya
pendidikan nilai dan watak efektif bila diberikan sejak usia dini. Kesiapan
lembaga
pendidikan dalam menghadapi isu globalisasi perlu
dilakukan oleh pimpinan berserta seluruh tenaga pendidik. Dalam kaitannya
dengan profesionalisme tenaga pendidik, maka seorang tenaga pendidik yang
professional dituntut dengan sejumlah persyaratan minimal, antara lain,
memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi
keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya, memiliki kemampuan
berkomunikasi yang baik dengan anak didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan
produktif, memiliki etos kerja dan komitmen yang tinggi terhadap profesinya,
dan selalu melakukan pengembangan diri secara terus menerus (continuous
improvement) melalui organisasi profesi, internet, buku, seminar dan
semacamnya (Sidi, 2001: 38-39). Dalam hal ini, kemampuan menguasai teknologi
informasi dan komunikasi (ICT- Information Communications Tecnology) menjadi
faktor yang cukup penting bagi eksistensi sebuah bangsa. Bila apa yang
dikemukakan di muka lebih menunjukkan pada kompetensi dalam artian akademis,
maka staf pendidik yang profesional, disamping menunjukkan kompetensi
akademis juga harus dibarengi dengan kompetensi etis karena setiap profesi
memiliki nilai-nilai etika yang melekat pada pekerjaan itu (Buchori,
2001:104). Etika atau moralitas profesi ini tepat bila dikembangkan di
lembaga pendidikan dan pimpinan beserta seluruh tenaga pengajar dapat
mengajarkannya melalui contoh dan keteladanan. Di masa depan, bukan hanya
kecerdasan intelektual saja yang dibutuhkan oleh perserta didik, namun juga
kecerdasan emosional, moral dan spiritual. Staf pengajar yang mampu menjaga
integritas pribadi tentu akan lebih berwibawa untuk mengantarkan peserta
didiknya menghadapi masa depan yang penuh dengan tantangan. Kompetensi lain
yang juga diperlukan tenaga pengajar, terutama tenaga pengajar bidang sosial
dan pendidikan nilai adalah kompetensi kemasyarakatan. Kompetensi
kemasyarakatan adalah kemampuan tenaga pengajar sebagai pribadi untuk hidup
dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan
pengembangan iklim demokrasi di dalam kelas, maka tenaga pendidik harus
memiliki wawasan yang luas serta pengalaman bermasyarakat. Masyarakat bagi
pendidikan adalah salah satu sumber belajar yang penting yang harus terus
dipelajari dan dikaji sebagai persiapan peserta didik hidup di dalamnya.
Apalagi demokrasi bukanlah warisan melainkan diperoleh dan didapatkan melalui
proses pembelajaran (learning). Sedangkan berkaitan dengan pencapaian
tujuan belajar, disamping harus dipersiapkan melalui pengembangan materi
ajar, juga perlu
dilakukan dengan pengembangan metode pembelajaran.
Metode konvensional seperti ceramah, perlu divariasikan dengan metode lain
yang lebih demokratis dan dengan komunikasi dua arah sehingga dapat menggali
dan mengembangkan potensi dan kreativitas anak didik. Beberapa metode yang
dapat digunakan dalam mengembangkan pendidikan yang demokratis ini antara
lain active learning, pembelajaran siswa aktif, maupun pembelajaran
portofolio.
9. Gagasan/ Pemikiran Untuk
Mengatasi Memudarnya Jati Diri Bangsa
Eksistensi bangsa dan negara dalam era global. Ada
dua pendapat dalam menjawab pertanyaan bagaimana eksistensi sebuah bangsa dan
negara dalam era global dan masing-masing pendapat tersebut mempunyai
argumentasi yang sama-sama kuat. Pendapat pertama menyatakan bahwa
globalisasi tidak mengurangi eksistensi organisasi negara dan, pendapat kedua
menyatakan bahwa eksistensi organisasi negara menjadi berkurang di era
global. Presiden Indonesia keempat dalam menjalankan pemerintahan percaya
terhadap pendapat bahwa good government is less government atau
pemerintah yang baik adalah pemerintah yang sedikit mungkin mengatur
masyarakat (memerintah). Pendapat ini bukan sama sekali baru. Banyak
pemikiran tentang peran pemerintah menyatakan hal yang sama. Hal ini
menimbulkan perdebatan lama tentang seberapa besar seharusnya peran
pemerintah dalam mengatur masyarakat dan seberapa besar hak dan kebebasan
yang dimiliki masyarakat dan tidak dapat diintervensi oleh pemerintah
(negara). Pendapat semacam ini muncul karena dikotomi rakyat dan negara.
Sehinga konklusinya, negara dinyatakan kuat apabila masyarakat lemah, dan
sebaiknya negara lemah apabila masyarakat terlalu kuat. Bila pendapat ini
benar maka negara yang kuat akan melakukan berbagai regulasi untuk mencapai
tujuan-tujuan negara dengan mereduksi hak-hak masyarakat. Tujuan itu misalnya
berkaitan dengan tujuan pembangunan ekonomi, industri, moneter, pendidikan,
perdagangan, pertahanan keamanan, politik, sosial dan budaya. Regulasi negara
terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat ini akan mengurangi kebebasan
partisipasi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan tersebut. Akibatnya
masyarakat merasa terkekang dan kehidupan politik menjadi tidak demokratis
ketika negara terlalu kuat. Sebaliknya apabila negara lemah dan
individu-individu dalam masyarakat menjadi kuat maka inisiatif
masyarakat menjadi begitu berpengaruh terhadap
keputusan dan pemenuhan kebutuhan bersama. Di Indonesia, otonomi daerah
adalah sebagai salah satu bentuk penguatan dan pemberdayaan masyarakat lokal
dan masyarakat pada umumnya. Sekalipun dampak negatifnya sudah tampak
misalnya pindahnya KKN dari pusat ke daerah, munculnya “raja-raja” kecil di
daerah, naiknya jumlah dan jenis pajak daerah sehingga beban masyarakat
menjadi semakin berat. Hal ini tentu tidak sejalan dengan tujuan dari otonomi
daerah itu sendiri untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan
sumber daya alam dan manusia untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat
di daerah. Di tingkat global, negara yang kuat akan mengakibatkan sulitnya
intervensi negara asing terhadap negara tersebut karena setiap bantuan serta
negara atau lembaga asing tidak dapat langsung diberikan kepada masyarakat
sehingga di masa lalu kebocoran dana pembangunan sangat besar. Perlu kiranya
dipahami bahwa bantuan asing hampir selalu disertai misi untuk melindungi dan
membentuk citra (image) yang baik terhadap lembaga dan kepentingan
negara tersebut di negara yang diberi bantuan. Dengan kata lain, bantuan yang
diberikan oleh negara donor tidaklah gratis. Ada pamrih. Bahkan ada
kecenderungan berbagai hutang/bantuan luar negeri menjadi perangkap
ketergantungan negara periferal terhadap negara center, negara
marginal terhadap negara dominan, negara miskin terhadap negara kaya
(Rachbini, 1995). Demikian juga globalisasi tidak lepas dari desain negara
maju dalam rangka memenuhi kepentingan ekonomi dan industrinya. Isu
demokrasi, hak asasi manusia (HAM), gender, pluralisme dan multikulturalisme
harus dipandang sebagai bagian dari desain hegemoni negara maju terhadap
negara berkembang. Karena Amerika Serikat sebagai kampiun demokrasi,
belakangan ini tidak dapat lagi menjadi contoh bagi demokrasi karena
menggunakan standar ganda dalam isu penegakan HAM. Demikian juga dalam isu
globalisasi, di satu sisi merupakan hal yang tidak bisa dihindari namun di
sisi lain tidak semua konsekuensinya baik. Isu demokrasi, pluralisme dan
multikulturalisme pun pantas diberi catatan karena isu tersebut bila tidak
dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip equity (keadilan) dan equality
(persamaan) sehingga isu tersebut menjadi kehilangan makna. Sebagaimana
dikemukakan di muka, sekalipun tidak semua konsekuensi globalisasi baik
bahkan banyak masyarakat negara menolak, termasuk masyarakat Eropa sendiri,
namun bagi bangsa Indonesia globalisasi merupakan hal yang suka tidak suka,
mau tidak mau
harus diterima kehadirannya. Namun perlunya
kiranya dikembangkan strategi kebudayaan untuk meminimalisir dampak
globalisasi yang merugikan. Strategi kebudayan ini dikembangkan berdasarkan
komitmen masyarakat bangsa untuk mendahulukan kepentingan nasional dalam mengadakan
interaksi ataupun kerjasama dengan negara bangsa lain. Bila di era
globalisasi semakin peran negara semakin berkurang, maka fungsi filter
terhadap kebudayaan dan pengaruh asing yang merusak dapat efektif dilakukan
oleh individu-individu dalam masyarakat.
Globalisasi dapat mereduksi eksistensi negara dari
organisasi negara yang kuat menjadi organisasi negara yang lemah. Namun
eksistensi masyarakat yang semakin kuat di era otonomi ini bila tidak
dibarengi dengan kemajuan yang berarti dalam etika dan perilaku masyarakat
tentu akan menjadi hambatan. Masyarakat yang diharapkan semakin mendukung
otonomi daerah yang disemangati oleh prinsip demokratisasi dan penguatan
partisipasi masyarakat daerah dalam mengelola kekayaan dan sumber daya daerah
untuk kesejahteraan masyarakat daerah, dapat terpinggirkan kembali. Jejaring
globalisasi juga telah merambah ke daerah antara lain dalam bentuk peraturan
perundang-undangan yang memberikan peluang bagi daerah untuk mengadakan
kerjasama luar negeri dan pinjaman luar negeri. Dengan demikian semakin
diperlukan pemerintahan daerah yang kuat baik secara legitimasi (politik),
SDM, maupun manajemen (akuntabilitas). Sedangkan di sisi lain, filter
terhadap pengaruh budaya asing yang merusak lebih banyak tergantung kepada
kemampuan individu-individu dalam memilih mana yang baik dan yang tidak baik.
Dengan demikian pembentukan manusia yang otonom secara sosial, politik dan
ekonomi akan menjadi kontrol yang efektif dari dampak negatif globalisasi.
RANGKUMAN
Perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi
dalam struktur masyarakat yang dapat mempengaruhi sistem sosial.
Bentuk-bentuk perubahan yaitu perubahan lambat
dan perubahan cepat; Perubahan kecil dan perubahan besar; Perubahan yang
dikehendaki (intended-change) atau perubahan yang direncanakan (planned-chage)
dan perubahan yang tidak dikehendaki (unitended-change) atau
perubahan yang tidak direncanakan (unplanned-change); Perubahan
struktur dan perubahan proses.
Perspektif teori perubahan sosial dibagi menjadi
5 yaitu teori evolusioner, teori siklus, teori perkembangan (linear), teori
fungsional (Talcott Parsons), teori konflik (Karl Mark).
Proses Perubahan Sosial; Penemuan baru (discovery)
yaitu penemuan merupakan persepsi manusia yang dianut secara bersama,
mengenai suatu aspek kenyataan yang semula sudah ada; Invensi (Invention) yaitu
suatu kombinasi baru/ cara penggunaan baru dari pengetahuan yang sudah ada;
Difusi (difution) yaitu penyebaran unsur-unsur budaya dari suatu
kelompok ke kelompok lainnya.
Soemardi mengatakan bahwa secara umum penyebab
dari perubahan sosial budaya dibedakan atas dua golongan besar, yaitu
perubahan yang berasal dari masyarakat itu sendiri dan perubahan yang berasal
dari luar masyarakat.
|
|||
0 komentar:
Posting Komentar