Paradigma 18 - Bidikan Utama - Untuk
melestarikan kesenian tradisional, jalinan kerjasama dari berbagai elemen
sangat dibutuhkan
Indonesia, negeri seribu pulau ini tak hanya diakui
dunia karena kekayaan alamnya. Tetapi juga diakui akan kebudayaan serta
kesenian daerahnya. Seni memiliki pelbagai keunikan khas dan bergelimang makna
pada tiap suku dan daerah asalnya. seperti Barongan, Wayang, Reog , Tari
Ronggeng dan Jaipong dari rakyat Sunda, Tari Gending Sriwijaya dari
Palembang, Seni Karawitan di Kalimantan, hingga Tarian Tifa khas
Irian Jaya.
Sebagaimana kebudayaan, kesenian ini tidak bisa muncul
dengan sendirinya, melainkan tercipta atas olah rasa dan fikir manusia pada
zamannya, karena kebudayaan merupakan induk dari kesenian yang bermacam-macam.
Ini menunjukkan bahwa kesenian adalah bagian dari masyarakat, dan tidak bisa
terpisahkan dengan realitas sosial. Hingga ketika masyarakat berada di masa
modern, seni tradisional juga ikut larut dalam modernitas. “Karena kesenian itu
dari manusia, maka kehidupannya juga tergantung oleh kemajuan manusia,” ujar
salah seorang pengkaji budaya dari Universitas Muria Kudus (UMK) Fajar Kartika.
Jika kesenian telah larut dalam modernitas yang penuh
dengan kapitalisme industri, maka kesenian harus tetap mempertahankan
esensinya. Dan ini menimbulkan pertanyaan, apakah seni tradisional di era
modern ini masih sarat makna dan berguna bagi kehidupan manusianya?
“Nilai-nilai seni tradisional akan tetap terjaga, mudah diterima dan tak kan
lekang oleh waktu jika kesenian tradisional berani berkompromi dengan industri,
karena kultur manusia yang ada di masa agraris (era tradisional) dengan
manusia di era teknologi ini sangat berbeda. Jika dulu kepercayaan mistis
begitu kuat, lain halnya dengan mindset orang sekarang yang cenderung
mendewakan rasionalitas,” tandas Fajar yang juga dosen di Univeritas Muria
Kudus ini.
Kesenian yang telah dibumbui unsur modern, menjadi
berbeda rasanya. Nilai-nilai yang tersirat menjadi absurd. Kesenian
bukan lagi dianggap sesuatu yang sakral dan memberikan nasihat kehidupan,
tetapi hanya menjadi sebuah tontonan menarik yang menghibur bagi masyarakatnya.
Fenomena itu terjadi bukan tanpa alasan.
Masyarakat sekarang lebih suka dimanjakan oleh kesibukan serta kemajuan
teknologi. Lebih menghibur dan intensitas perjumpaan merekapun hampir tiap
detik. Sehingga agak apatis dengan seni tradisional yang terkesan monoton,
setiap tahun hanya itu-itu saja. Akibatnya, masyarakat menganggap kesenian
adalah hal biasa, yang dijadikan pelepas lelah di sela-sela kesibukannya.
Nampaknya perlu penyadaran serta pendidikan kepada
masyarakat tentang kesenian daerahnya, khususnya pada generasi mudanya, agar
kesenian tradisional tetap eksis dan mendapat tempat khusus dalam kehidupan
masyarakat. “Pendidikan kesenian harus secara langsung diberikan kepada
masyarakat, khususnya generasi muda. Caping Khas Kudus contohnya, bisa menjadi
pengganti Toga yang dipakai para wisudawan perguruan tinggi di Kudus,” kata
Fajar.
Dilematis
Di satu sisi, kesenian tradisional dapat berjalan
berdampingan dengan seni modern, tetapi di sisi lain esensi serta nilai-nilai
kesenian tersebut kian memudar. Akibatnya kesenian sulit dipertahankan
esensinya, yang ada hanyalah tradisi hiburan rakyat yang sejajar dengan orkes,
pentas musik atau sejenisnya. “Manusia yang hidup di masa sekarang kebanyakan
bersifat hedonis, dan itu menyebabkan nilai tradisional sekarang cenderung
menjadi kapitalis,” tutur salah seorang antropolog Kudus, Ahdi Riyono saat
ditemudi di sela-sela kesibukannya.
Ahdi menambahkan, budaya barat yang berbasis teknologi
modern, menjadi bomerang bagi eksistensi kesenian di masyarakat. Dan dalam hal
ini masyarakatlah yang menjadi taruhannya. Apakah masih tetap menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kesenian, ataukah justru terpengaruh
dengan ideologi hedonis yang ditebarkan oleh modernisme.
Disinilah masyarakat membutuhkan sukarelawan yang
harus setia menjaga serta mengenalkan kembali nilai-nilai kesenian tradisional,
baik dari pemerintah melalui Disbudpar (Dinas Budaya dan pariwisata), dan
masyarakat (pelaku seni) di tiap daerah. Hal ini ditujukan untuk
melestarikan nilai-nilai kesenian dan menjaga masyarakat dari segala macam
negativitas kehidupan modern, sebagaimana pendapat Ahdi Riyono bahwa kesenian
bisa dijadikan alat bagi masayarakat untuk berubah menjadi lebih baik.
Perlu perhatian
Keberadaan masyarakat tradisional mempunyai peran
penting untuk menjaga kesenian tradisional beserta esensinya, terlebih di masa
modern ini. Semisal upacara sekaten yang rutin dilakasanakan oleh
keraton Yogyakarta setiap tahun. Grebeg Besar di Kabupaten Demak dengan
pelaku seni setempat, atau ritual kecil seperti sesajen yang ada di
jawa, membuktikan bahwa hingga kini masyarakat tidak bisa lepas dari budaya
warisan leluhurnya. “Kalau di daerah Jogja, mempunyai otoritas tertinggi untuk
melestarikan tradisi yakni keraton. Dan tidak lain adalah untuk melanggengkan
tradisinya,” papar dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMK ini.
Tentunya keberadaan masyarakat tersebut memiliki
pelbagai motivasi. Ada yang benar-benar sadar merasa memiliki kesenian. Ada
yang memiliki hubungan mistik dengan kesenian tradisional tersebut, bahkan ada
juga yang menjalankanya sebatas seremonial belaka. Dan nampaknya motivasi
terakhir tadi sangat lazim terjadi sekarang, “Kebanyakan seni tradisional
yang dilakukan masyarakat sekarang hanya dibuat sebatas hiburan, jarang sekali
yang menilik lebih dalam tentang nilai atau arti dari essensi seremonial
kebudayaan tersebut,” kata Fajar yang masih duduk dalam satu ruang bersama Ahdi
Riyono.
Berbeda ketika di Jogja yang rutin menjalankan tradisi
sekaten berikut upacara adatnya. Di Kudus kesenian tradisional belum
bisa nampak esensinya secara langsung.
Tradisi Dandangan yang diakui sebagai salah satu
tradisi khas Kudus belum mencerminkan kesenian lokalnya. Seharusnya even
tersebut menjadi kesempatan untuk menampilkan kesenian adat Kudus berikut
atributnya, seperti Tari Kretek, Wayang Klitik, Kesenian Kentrung, Caping
Kudus, kerajinan khas Kudus, atau makanan khas Kudus, bukan hanya menjadi pasar
rakyat yang menjajakan pelbagai macam dagangan modern. Ironisnya, Disbudpar
Kudus yang digaji untuk memperhatikan kebudayaan dan kesenian Kudus ini,
cenderung lamban dalam bertindak.
Realitas sosial yang terjadi selama ini, membuktikan
bahwa masyarakat memang tidak bisa lepas dari kesenian tradisionalnya, mereka
menjadi spirit tersendiri terhadap keberlangsungan kesenian tradisional.
Namun untuk menjaganya tentu membutukan dana yang tidak sedikit. Di sini,
pemerintah sebagai pemilik otoritas memiliki peran yang sangat penting, karena
memiliki Anggaran yang memang dialokasikan untuk kebudayaan dan kesenian, dan
inilah menurut Ahdi yang harus segera dilakukan pemerintah. “Kesenian harus
punya penjaga yang selalu melestarikan kesenian yang ada. Bisa berbentuk
institusi yang ditugaskan untuk mempertahankan kesenian tersebut,” tandas dosen
dengan kacamata minus itu.
Dari cara pandangnya, sebenarnya masyarakat sudah
berupaya dengan keras untuk menjaga kesenian tradisional, tapi faktor financial
selalu jadi kendala. Maka, perlu adanya kerjasama dengan yang berwenang, yakni
pemerintah setempat.
Revitalisasi kesenian tradisional perlu dilakukan
dalam bentuk apapun. Hal terpenting dari revitalisasi kesenian tradisional
adalah agar tetap eksis dan bermakna mendalam bagi kehidupan masyarakatnya. Ini
menjadi lebih mudah dilakukan jika ada harmonisasi tindakan dari pelbagai unsur
di daerahnya. Baik Pemerintah, Masyarakat secara luas, atau pelaku seninya
sendiri harus saling bekerja sama. Karena kesenian adalah dari, untuk dan oleh
manusia dimana kesenian itu berada.
0 komentar:
Posting Komentar