Rabu, 05 Desember 2012

TUGAS 5 ( ARTIKEL REALITAS SOSIAL )



 Paradigma 18 - Bidikan Utama - Untuk melestarikan kesenian tradisional, jalinan kerjasama dari berbagai elemen sangat dibutuhkan
Indonesia, negeri seribu pulau ini tak hanya diakui dunia karena kekayaan alamnya. Tetapi juga diakui akan kebudayaan serta kesenian daerahnya. Seni memiliki pelbagai keunikan khas dan bergelimang makna pada tiap suku dan daerah asalnya. seperti Barongan, Wayang, Reog , Tari Ronggeng dan Jaipong dari rakyat Sunda, Tari Gending Sriwijaya dari Palembang, Seni Karawitan di Kalimantan, hingga Tarian Tifa khas Irian Jaya.
Sebagaimana kebudayaan, kesenian ini tidak bisa muncul dengan sendirinya, melainkan tercipta atas olah rasa dan fikir manusia pada zamannya, karena kebudayaan merupakan induk dari kesenian yang bermacam-macam. Ini menunjukkan bahwa kesenian adalah bagian dari masyarakat, dan tidak bisa terpisahkan dengan realitas sosial. Hingga ketika masyarakat berada di masa modern, seni tradisional juga ikut larut dalam modernitas. “Karena kesenian itu dari manusia, maka kehidupannya juga tergantung oleh kemajuan manusia,” ujar salah seorang pengkaji budaya dari Universitas Muria Kudus (UMK) Fajar Kartika.

Jika kesenian telah larut dalam modernitas yang penuh dengan kapitalisme industri, maka kesenian harus tetap mempertahankan esensinya. Dan ini menimbulkan pertanyaan, apakah seni tradisional di era modern ini masih sarat makna dan berguna bagi kehidupan manusianya? “Nilai-nilai seni tradisional akan tetap terjaga, mudah diterima dan tak kan lekang oleh waktu jika kesenian tradisional berani berkompromi dengan industri, karena kultur manusia yang ada di masa agraris (era tradisional) dengan manusia di era teknologi ini sangat berbeda. Jika dulu kepercayaan mistis begitu kuat, lain halnya dengan mindset orang sekarang yang cenderung mendewakan rasionalitas,” tandas Fajar yang juga dosen di Univeritas Muria Kudus ini.
Kesenian yang telah dibumbui unsur modern, menjadi berbeda rasanya. Nilai-nilai yang tersirat menjadi absurd. Kesenian bukan lagi dianggap sesuatu yang sakral dan memberikan nasihat kehidupan, tetapi hanya menjadi sebuah tontonan menarik yang menghibur bagi masyarakatnya.
Fenomena itu terjadi bukan tanpa alasan.  Masyarakat sekarang lebih suka dimanjakan oleh kesibukan serta kemajuan teknologi. Lebih menghibur dan intensitas perjumpaan merekapun hampir tiap detik. Sehingga agak apatis dengan seni tradisional yang terkesan monoton, setiap tahun hanya itu-itu saja. Akibatnya, masyarakat menganggap kesenian adalah hal biasa, yang dijadikan pelepas lelah di sela-sela kesibukannya.
Nampaknya perlu penyadaran serta pendidikan kepada masyarakat tentang kesenian daerahnya, khususnya pada generasi mudanya, agar kesenian tradisional tetap eksis dan mendapat tempat khusus dalam kehidupan masyarakat. “Pendidikan kesenian harus secara langsung diberikan kepada masyarakat, khususnya generasi muda. Caping Khas Kudus contohnya, bisa menjadi pengganti Toga yang dipakai para wisudawan perguruan tinggi di Kudus,” kata Fajar.
Dilematis
Di satu sisi, kesenian tradisional dapat berjalan berdampingan dengan seni modern, tetapi di sisi lain esensi serta nilai-nilai kesenian tersebut kian memudar. Akibatnya kesenian sulit dipertahankan esensinya, yang ada hanyalah tradisi hiburan rakyat yang sejajar dengan orkes, pentas musik atau sejenisnya. “Manusia yang hidup di masa sekarang kebanyakan bersifat hedonis, dan itu menyebabkan nilai tradisional sekarang cenderung menjadi kapitalis,” tutur salah seorang antropolog Kudus, Ahdi Riyono saat ditemudi di sela-sela kesibukannya.
Ahdi menambahkan, budaya barat yang berbasis teknologi modern, menjadi bomerang bagi eksistensi kesenian di masyarakat. Dan dalam hal ini masyarakatlah yang menjadi taruhannya. Apakah masih tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kesenian, ataukah justru terpengaruh dengan ideologi hedonis yang ditebarkan oleh modernisme.
Disinilah masyarakat membutuhkan sukarelawan yang harus setia menjaga serta mengenalkan kembali nilai-nilai kesenian tradisional, baik dari pemerintah melalui Disbudpar (Dinas Budaya dan pariwisata), dan masyarakat (pelaku seni) di tiap daerah. Hal ini ditujukan untuk melestarikan nilai-nilai kesenian dan menjaga masyarakat dari segala macam negativitas kehidupan modern, sebagaimana pendapat Ahdi Riyono bahwa kesenian bisa dijadikan alat bagi masayarakat untuk berubah menjadi lebih baik.
Perlu perhatian
Keberadaan masyarakat tradisional mempunyai peran penting untuk menjaga kesenian tradisional beserta esensinya, terlebih di masa modern ini. Semisal upacara sekaten yang rutin dilakasanakan oleh keraton Yogyakarta setiap tahun. Grebeg Besar di Kabupaten Demak dengan pelaku seni setempat, atau ritual kecil seperti sesajen yang ada di jawa, membuktikan bahwa hingga kini masyarakat tidak bisa lepas dari budaya warisan leluhurnya. “Kalau di daerah Jogja, mempunyai otoritas tertinggi untuk melestarikan tradisi yakni keraton. Dan tidak lain adalah untuk melanggengkan tradisinya,” papar dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMK ini.
Tentunya keberadaan masyarakat tersebut memiliki pelbagai motivasi. Ada yang benar-benar sadar merasa memiliki kesenian. Ada yang memiliki hubungan mistik dengan kesenian tradisional tersebut, bahkan ada juga yang menjalankanya sebatas seremonial belaka. Dan nampaknya motivasi terakhir tadi sangat lazim terjadi sekarang,  “Kebanyakan seni tradisional yang dilakukan masyarakat sekarang hanya dibuat sebatas hiburan, jarang sekali yang menilik lebih dalam tentang nilai atau arti dari essensi seremonial kebudayaan tersebut,” kata Fajar yang masih duduk dalam satu ruang bersama Ahdi Riyono.
Berbeda ketika di Jogja yang rutin menjalankan tradisi sekaten berikut upacara adatnya. Di Kudus kesenian tradisional belum bisa nampak esensinya secara langsung.
Tradisi Dandangan yang diakui sebagai salah satu tradisi khas Kudus belum mencerminkan kesenian lokalnya. Seharusnya even tersebut menjadi kesempatan untuk menampilkan kesenian adat Kudus berikut atributnya, seperti Tari Kretek, Wayang Klitik, Kesenian Kentrung, Caping Kudus, kerajinan khas Kudus, atau makanan khas Kudus, bukan hanya menjadi pasar rakyat yang menjajakan pelbagai macam dagangan modern. Ironisnya, Disbudpar Kudus yang digaji untuk memperhatikan kebudayaan dan kesenian Kudus ini, cenderung lamban dalam bertindak.
Realitas sosial yang terjadi selama ini, membuktikan bahwa masyarakat memang tidak bisa lepas dari kesenian tradisionalnya, mereka menjadi spirit tersendiri terhadap keberlangsungan kesenian tradisional. Namun untuk menjaganya tentu membutukan dana yang tidak sedikit. Di sini, pemerintah sebagai pemilik otoritas memiliki peran yang sangat penting, karena memiliki Anggaran yang memang dialokasikan untuk kebudayaan dan kesenian, dan inilah menurut Ahdi yang harus segera dilakukan pemerintah. “Kesenian harus punya penjaga yang selalu melestarikan kesenian yang ada. Bisa berbentuk institusi yang ditugaskan untuk mempertahankan kesenian tersebut,” tandas dosen dengan kacamata minus itu.
Dari cara pandangnya, sebenarnya masyarakat sudah berupaya dengan keras untuk menjaga kesenian tradisional, tapi faktor financial selalu jadi kendala. Maka, perlu adanya kerjasama dengan yang berwenang, yakni pemerintah setempat.
Revitalisasi kesenian tradisional perlu dilakukan dalam bentuk apapun. Hal terpenting dari revitalisasi kesenian tradisional adalah agar tetap eksis dan bermakna mendalam bagi kehidupan masyarakatnya. Ini menjadi lebih mudah dilakukan jika ada harmonisasi tindakan dari pelbagai unsur di daerahnya. Baik Pemerintah, Masyarakat secara luas, atau pelaku seninya sendiri harus saling bekerja sama. Karena kesenian adalah dari, untuk dan oleh manusia dimana kesenian itu berada.



0 komentar:

Posting Komentar