1. Mayoritas dan Minoritas
Kinloch
berpendapat bahwa kelompok orang yang disebut sebagai mayoritas adalah
orang-orang yang memiliki kekuasaan, menganggap dirinya normal dan memilik
derajat lebih tinggi. Sedangkan kelmpok lain yang dianggap sebagai kelompok
minoritas adalah mereka yang tidak memiliki kekuasaan, dianggap lebih rendah
karena memiliki ciri tertentu: cacad secara fisik ataupun mental sehingga
mereka mengalami eksploitasi dan diskriminasi. (Kinloch, 1979: 38)
Konsep mayoritas disini didasarkan oleh dominasi kekuasaan, bukan dominasi oleh jumlah anggota. Kelompok mayoritas bisa saja berjumlah lebih kecil daripada minoritas. Sebagai contoh adalah saat politik apartheid dicanangkan di Afrika Selatan, jumlah orang berkulit putih lebih sedikit daripada jumlah orang berkulit hitam. Akan tetapi kelompok kulit putih memiliki kuasa terhadap kelompok kulit hitam. Selain itu, hubungan antarkelompok yang didasarkan konsep mayoritas dan minoritas dipengaruhi juga oleh konsep kebudayaan mayoritas dominan (dominant majority culture) yang diangkat oleh Edward M. Bruner.Sebagai contoh adalah di kota Medan terdiri atas sejumlah kelompok minoritas tanpa adanya suatu kebudayaan yang dominan sehingga berkembang persaingan yang ketat antara setiap etnik, dan hubungan antar etnik terjadi ketegangan.
kemajuan dalam berbagai bidang ilmu dan kehidupan manusia membawa akibat adanya perjumpaan yg makin intensif antar kelompok2 manusia. pergesekan antar budaya lokal satu dengan yg lain tak terhindarkan. dalam kaitan dengan keyakinan agama, apalagi ditambah dengan faktor keyakinan agama yg punya kecenderungan bersifat mutlak, pergesekan itu dapat menjadi benturan yg mengakibatkan pemecahbelahan dan perusakan kehidupan bersama.
ada fenomena menarik dalam hubungan antar umat beragama, yg terkondisi dalam hubungan mayoritas-minoritas. dari sejarah dan pengalaman konkrit kehidupan ini, kita dapat melihat gejala sikap superior, agresif, dan ‘mau menang sendiri’ dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. biasanya kelompok minoritas punya kecenderungan untuk lebih bersifat terbuka dan mau toleran, walau itu mungkin demi kelangsungan hidupnya di tengah mayoritas yg ‘agresif ‘ itu. gejala semacam itu juga tampak dalam hubungan antar umat beragama, di mana yg satu menjadi mayoritas dalam kehidupan bersama dan yg lain menjadi minoritas. kelompok mayoritas hampir selalu membawa sikap superior. dan sikap itu jelas merusakkan kehidupan bersama. jika kelompok minoritas itu bersikap eksklusif, punya fanatisme tinggi, dan militan, bisa kita bayangkan kekacauan dalam kehidupan bersama yg akan terjadi. peristiwa sehari2 di Barat dan Timur, terutama yg berkaitan dengan perjumpaan antar umat beragama, menunjukkan kebenaran hal ini : kelompok mayoritas ( Kristen di Barat, Hindu di India, Islam di banyak negara Islam, dll. ) pada umumnya menunjukkan gejala superioritasnya, sedang kelompok agama minoritas ( apapun agama itu ) hampir selalu menunjukkan sikapnya yg lebih sehat, positif, terbuka, dan toleran.
gejala hubungan mayoritas-minoritas di atas menunjukkan bahwa faktor ajaran agama bukanlah penyebab utama masalah benturan antar umat beragama, atau bahkan dapat dikatakan bahwa benturan itu tidak berkaitan dengan masalah keagamaan. perbedaan yang ada tidak harus menghasilkan benturan yg berakibat pemecahbelahan atau perusakan kehidupan bersama. faktor mayoritas ( faktor orangnya, yg merasa diri berjumlah dan berkekuatan besar ) itulah yg menjadi penyebab utama benturan yg merusak !! jadi benturan itu hanya gejala sosiologis biasa : kelompok mayoritas selalu mau menang dan cenderung sewenang2. pada banyak kasus alasan keagamaan ( klaim kebenaran ) hanya ‘alat bantu’ untuk membenarkan ‘naluri’ mayoritasnya (band. kelompok umat dari agama yg sama, saat ia menjadi minoritas, bersikap positif, terbuka, dan toleran - klaim kebenaran mereka tidak merusakkan kehidupan bersama ; selain itu gejala ‘mencampur aduk’ dua macam benturan - yg berciri keagamaan dan berciri ke-ras/suku-an - seperti yg sering terjadi di Indonesia, menunjukkan bahwa alasan keagamaan bukanlah alasan yg sesungguhnya ! ). tentu ada pengecualiannya : pada kelompok fundamentalis, apalagi yg ekstrim, alasan keagamaan dapat menjadi alasan utama ( dan tentunya tidak mencampur-adukkannya dengan benturan yg berciri ke-ras/suku/budaya-an). sekali lagi, gejala benturan mayoritas-minoritas antar umat beragama ini lebih bersifat sosiologis, seperti yg juga terjadi dalam hubungan mayoritas-minoritas di luar kelompok2 keagamaan. jika masalah keagamaan ada dalam benturan itu, maka masalah itu hanya bersifat sampingan ( atau bahkan merupakan penyalahgunaan agama untuk maksud2 yg tidak bersifat keagamaan).
masalah sosiologis - rasa superioritas kelompok mayoritas - adalah penyebab utama benturan antar umat beragama. tetapi, disadari atau tidak, alasan keagamaan seringkali muncul dan dimanfaatkan dalam sikap agresif kelompok mayoritas. dalam kelompok fundamentalis, jelaslah alasan keagamaan ini yg jadi pemicu benturan antar umat beragama yg ada. bentuk alasan keagamaan itu erat berkaitan dengan warisan tradisi ajaran kelompok2 agama itu. apapun alasan utamanya, pemakaian alasan keagamaan itu menimbulkan ironi : kelompok keagamaan yg menyatakan diri sebagai pembawa misi penyelamatan dan pendamaian bagi umat manusia, justru jadi salah satu ’sponsor’ utama dalam perusakan kemanusiaan dan kehidupan bersama. citra buruk akan melekat pada kelompok2 keagamaan, dan mereka akan gagal dalam misi agungnya.
Konsep mayoritas disini didasarkan oleh dominasi kekuasaan, bukan dominasi oleh jumlah anggota. Kelompok mayoritas bisa saja berjumlah lebih kecil daripada minoritas. Sebagai contoh adalah saat politik apartheid dicanangkan di Afrika Selatan, jumlah orang berkulit putih lebih sedikit daripada jumlah orang berkulit hitam. Akan tetapi kelompok kulit putih memiliki kuasa terhadap kelompok kulit hitam. Selain itu, hubungan antarkelompok yang didasarkan konsep mayoritas dan minoritas dipengaruhi juga oleh konsep kebudayaan mayoritas dominan (dominant majority culture) yang diangkat oleh Edward M. Bruner.Sebagai contoh adalah di kota Medan terdiri atas sejumlah kelompok minoritas tanpa adanya suatu kebudayaan yang dominan sehingga berkembang persaingan yang ketat antara setiap etnik, dan hubungan antar etnik terjadi ketegangan.
kemajuan dalam berbagai bidang ilmu dan kehidupan manusia membawa akibat adanya perjumpaan yg makin intensif antar kelompok2 manusia. pergesekan antar budaya lokal satu dengan yg lain tak terhindarkan. dalam kaitan dengan keyakinan agama, apalagi ditambah dengan faktor keyakinan agama yg punya kecenderungan bersifat mutlak, pergesekan itu dapat menjadi benturan yg mengakibatkan pemecahbelahan dan perusakan kehidupan bersama.
ada fenomena menarik dalam hubungan antar umat beragama, yg terkondisi dalam hubungan mayoritas-minoritas. dari sejarah dan pengalaman konkrit kehidupan ini, kita dapat melihat gejala sikap superior, agresif, dan ‘mau menang sendiri’ dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. biasanya kelompok minoritas punya kecenderungan untuk lebih bersifat terbuka dan mau toleran, walau itu mungkin demi kelangsungan hidupnya di tengah mayoritas yg ‘agresif ‘ itu. gejala semacam itu juga tampak dalam hubungan antar umat beragama, di mana yg satu menjadi mayoritas dalam kehidupan bersama dan yg lain menjadi minoritas. kelompok mayoritas hampir selalu membawa sikap superior. dan sikap itu jelas merusakkan kehidupan bersama. jika kelompok minoritas itu bersikap eksklusif, punya fanatisme tinggi, dan militan, bisa kita bayangkan kekacauan dalam kehidupan bersama yg akan terjadi. peristiwa sehari2 di Barat dan Timur, terutama yg berkaitan dengan perjumpaan antar umat beragama, menunjukkan kebenaran hal ini : kelompok mayoritas ( Kristen di Barat, Hindu di India, Islam di banyak negara Islam, dll. ) pada umumnya menunjukkan gejala superioritasnya, sedang kelompok agama minoritas ( apapun agama itu ) hampir selalu menunjukkan sikapnya yg lebih sehat, positif, terbuka, dan toleran.
gejala hubungan mayoritas-minoritas di atas menunjukkan bahwa faktor ajaran agama bukanlah penyebab utama masalah benturan antar umat beragama, atau bahkan dapat dikatakan bahwa benturan itu tidak berkaitan dengan masalah keagamaan. perbedaan yang ada tidak harus menghasilkan benturan yg berakibat pemecahbelahan atau perusakan kehidupan bersama. faktor mayoritas ( faktor orangnya, yg merasa diri berjumlah dan berkekuatan besar ) itulah yg menjadi penyebab utama benturan yg merusak !! jadi benturan itu hanya gejala sosiologis biasa : kelompok mayoritas selalu mau menang dan cenderung sewenang2. pada banyak kasus alasan keagamaan ( klaim kebenaran ) hanya ‘alat bantu’ untuk membenarkan ‘naluri’ mayoritasnya (band. kelompok umat dari agama yg sama, saat ia menjadi minoritas, bersikap positif, terbuka, dan toleran - klaim kebenaran mereka tidak merusakkan kehidupan bersama ; selain itu gejala ‘mencampur aduk’ dua macam benturan - yg berciri keagamaan dan berciri ke-ras/suku-an - seperti yg sering terjadi di Indonesia, menunjukkan bahwa alasan keagamaan bukanlah alasan yg sesungguhnya ! ). tentu ada pengecualiannya : pada kelompok fundamentalis, apalagi yg ekstrim, alasan keagamaan dapat menjadi alasan utama ( dan tentunya tidak mencampur-adukkannya dengan benturan yg berciri ke-ras/suku/budaya-an). sekali lagi, gejala benturan mayoritas-minoritas antar umat beragama ini lebih bersifat sosiologis, seperti yg juga terjadi dalam hubungan mayoritas-minoritas di luar kelompok2 keagamaan. jika masalah keagamaan ada dalam benturan itu, maka masalah itu hanya bersifat sampingan ( atau bahkan merupakan penyalahgunaan agama untuk maksud2 yg tidak bersifat keagamaan).
masalah sosiologis - rasa superioritas kelompok mayoritas - adalah penyebab utama benturan antar umat beragama. tetapi, disadari atau tidak, alasan keagamaan seringkali muncul dan dimanfaatkan dalam sikap agresif kelompok mayoritas. dalam kelompok fundamentalis, jelaslah alasan keagamaan ini yg jadi pemicu benturan antar umat beragama yg ada. bentuk alasan keagamaan itu erat berkaitan dengan warisan tradisi ajaran kelompok2 agama itu. apapun alasan utamanya, pemakaian alasan keagamaan itu menimbulkan ironi : kelompok keagamaan yg menyatakan diri sebagai pembawa misi penyelamatan dan pendamaian bagi umat manusia, justru jadi salah satu ’sponsor’ utama dalam perusakan kemanusiaan dan kehidupan bersama. citra buruk akan melekat pada kelompok2 keagamaan, dan mereka akan gagal dalam misi agungnya.
2.
FENOMENA GENG PELAJAR DI KAMPUNG
Menurut Soerjono Sukamto pengertian kelompok sosial
yang pertama adalah suatu sistem sosial yang terdiri dari sejumlah orang yang
berinteraksi satu sama lain dan terlibat dalam satu kegiatan bersama.
kedua, yaitu sejumlah orang yang mengadakan hubungan
tatap muka secara berkala karena mempunyai tujuan dan sikap bersama;
hubungan-hubungan yang diatur oleh norma-norma; tindakan-tindakan yang
dilakukan disesuaikan dengan kedudukan (status) dan peranan (role)
masing-masing dan antara orang-orang itu terdapat rasa ketergantungan satu sama
lain.
Sedangkan geng merupakan salah satu dari kelompok
sosial yang dapat tercipta dalam lingkungan sekolah hal ini dapat terjadi
disebabkan karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang tidak
mungkin dapat hidup sendiri di dunia.
Dari beberapa uraian di atas dapat di simpulkan
kelompok sosial (social group) merupakan suatu himpunan atau suatu
kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama,yang disebabkan oleh adanya
hubungan antara mereka yang menyangkut hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi dan adanya kesadaran untuk saling tolong menolong serta rasa
saling memiliki
saya
mengamati kelompok sosial (geng) yang ada dimasyarakat kp. Kamandoran Rt 03/09
desa. karang tengah kec. cibadak-Sukabumi.mereka kebanyakan pelajar sekolah
menengah pertama sampai menengah atas. Di saat waktunya sekolah, sekolompok
pelajar yang menamakan diri "geng" tersebut ternyata tidak sekolah
melainkan nongkrong di pinggir jalan atau di jembatan. kemudian, saya
menyimpulkan bahwa kebanyakan pelajar yang membentuk geng adalah pelajar yang
kurang baik dan itu akan merusak citra pelajar lain yang berada di pimggor
jalan atau pun di jembatan. saya mengelompokkan merekan kedalam bentuk conflict
gangs. Karena kejadian perkelahian hingga menimbulkan korban sering terjadi
dengan bertemunya beberapa kelompok pelajar. Satu-satunya penanda keberadaan
dan kolektivismenya, hanyalah logo atau inisial singkatan nama geng yang
berceceran dimana-mana. pokoknya ditempat-tempat umum yang mudah dilihat orang.
penyebaran ini dengan corat–coret dinding akan semakin baik bila semakin banyak
dan bertujuan untuk Pertama, dikenal masyarakat, kedua merupakan simbol bahwa
kekuatan (kekuasaan) mereka juga besar, ketiga sebagai kampanye menarik calon
simpatisan namun biasanya pada tempat–tempat tertentu yang jelas bahwa yang
jelas berada dalam kekuasaan geng tertentu, biasanya geng lain tak berani
mengadal, posisi ketua akan intimidasi terhadap geng yang lebih besar.
Dalam struktur sosial geng, posisi ketua tak ubahnya
raja kecil. Selain jadi panutan, pelindung, juga menjadi motor penggertak
aktivitas. Maka ketua biasanya anak pilihan pemberani, cerdik, licik, disegani.
Sebab kata dan tidakannya merupakan hukum dan tidakannya merupakan hukum serta
undang-undang yang harus dipatuhi anak buahnya.
Mulai dari pucuk pimpinan sampai ketua dalam
lingkungan tertentu mereka pulalah yang paling banyak memperoleh manfaat nyata
dari tradisi geng dilihat dari posisi pribadinya sebagai remaja, sembilan puluh
persen aktivitas geng sama sekali tidak mencerminkan manfaat positif bagi
pelakunya dan kegiatan–kegiatan geng dimana–mana sama yakni menjurus ke hal-hal
yang bersifat destruktif. Sama sekali bukan kegiatan kepemudaan yang
konstruktif.
0 komentar:
Posting Komentar